banner
banner

Partners

banner
 
 

Artikel Bebas

VHB Bermutasi, Potensi gagalkan vaksinasi (FK Universitas Airlangga) Print E-mail
Sumber : Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga , 23 Juli 2010
 
Guru Besar Unair BHMN ke-96 Prof. Maria Inge Lusida, dr., MKes., PhD., SpMK.FK Unair-  Dimulai pada tahun 1997 , Program Vaksinasi sudah dikenal sejak 13 tahun lalu sebagai satu-satunya upaya yang dilakukan Pemerintah dalam mencegah dan menekan angka kasus penyakit Hepatitis B di Indonesia,namun meski demikian, tingkat prevalensi karier hepatitis B di Indonesia sebagai bagian dari Negara belahan Asia-pasifik masih terbilang tinggi.
 
Belum tuntas dengan jumlah penderita Infeksi virus hepatitis B (VHB)nya yang tak kunjung menurun, penyebab lain gagalnya tujuan Vaksinasi lain disinyalir karena  munculnya “Vaccine-induced escape”  atau kemampuan VHB untuk bermutasi sehingga menyebabkan virus tersebut kebal terhadap reaksi vaksin.
 
Hal tersebut dipaparkan  oleh Prof. Maria Inge Lusida, dr., M.Kes., Ph.D., Sp.MK Guru Besar Unair ke -388 dari Fakultas Kedokteran Unair dalam jumpa press kemarin (3/7) di ruang Gedung Rektorat Universitas Airlangga sebagai bagian dari agenda menjelang acara pengukuhan Guru Besar Universitas Airlangga yang sedianya akan diselenggarakan esok pagi (24/7) di Gedung Rektorat Kampus C Unair.
 
Melalui orasinya berjudul “ Peran Pemeriksaan Berbasis Biologi Molekuler dalam Upaya Penanggulangan Hepatitis B di Indonesia” Ia menjelaskan  terdapat sebagian kecil penderita hepatitis B dengan kondisi “Vaccine-induced escape”. Kondisi tersebut bisa terjadi  karena adanya tekanan selektif akibat reaksi vaksinasi  sehingga menyebabkan timbulnya beberapa varian atau mutan baru yang kemudian mampu meloloskan diri dari proses netralisasi antibodi yang muncul pada proses vaksinasi.
 
Dapat dipastikan kondisi tersebut berpotensi menggagalkan sistem kerja Vaksin yang bekerja menekan perkembangbiakan  virus VHB secara permanen dari tubuh penderita  , mengingat vaksin tidak lagi bekerja efektif  dalam mencegah infeksi oleh mutan ini , sehingga menyebabkan mutan tersebut tak terdeteksi pada proses scrining rutin dengan menggunakan HBsAg, sehingga berakibat pada transmisi VHB ke manusia Lain.
 
“seperti halnya sifat alami semua makhluk yang berusaha ingin mempertahankan diri, karena  virus tersebut  ditekan oleh antibodi yang timbul akibat vaksinasi, maka menyebabkan sebagian virus mati , namun sebagian lain mencoba mempertahankan diri dengan cara bermutasi lalu kemudian meloloskan diri dari reaksi antibodi”ungkapnya.
 
Prof. Maria yang merupakan salah satu anggota peneliti di Rumah Sakit Pendidikan dan Penyakit Tropik Universitas Airlangga menjelaskan Sebenarnya permasalahan tersebut bisa diantisipasi menggunakan pemeriksaan berbasis Biologi Molekuler  (DNA), selain dapat dimanfaatkan sebagai monitor terapi, melalui pemeriksaan HBV DNA Kuantitatif tersebut  sekaligus mengidentifikasi pasien dengan VHB yang resisten terhadap obat antiviral.
 
“Dalam penggunaan biologi Molekuler ini, bila antigennya diketahui negatif, maka dengan pemeriksaan Spesifik molekuler  dapat diketahui jelas keberadaan virus sekalipun virus itu telah  bermutasi, hanya saja pemeriksaan molekuler tersebut masih dilakukan di laboratorium tertentu”ungkapnya.
 
Paling Efektif di Suntik Setelah Lahir
 
Dibandingkan dengan  angka progresifitas penderita hepatitis B pada saat anak berusia 1-5 tahun sebesar 20-50% dan kurang dari 5% terinfeksi pada saat dewasa, angka progresifitas dari Infeksi VHB akut menjadi kronis ini tertinggi dialami pada saat perinatal yakni sebesar 90%, dimana kebanyakan anak tertular virus VHB dari ibunya ketika masih berada didalam kandungan.
 
Kondisi diperparah dengan masih ditemukannya proporsi cukup besar persalinan yang dilakukan dirumah , tanpa didampingi oleh petugas yang bisa memberikan injeksi secara langsung. Dan hal tersebut banyak ditemui di beberapa daerah diluar jawa. Tentu, Kondisi tersebut yang kemudian memicu rendahnya cakupan vaksinasi hepatitis B.
 
“beberapa kendala tersebut lebih banyak di temui di luar Jawa, kalo di daerah perkotaan masyarakatnya jauh lebih mudah menerima informasi kesehatan, dan sudah banyak masyarakat yang memahami bagaimana tepatnya injeksi tersebut diberikan untuk anak”ungkapnya.
 
Untuk itu meski pada kenyataan dilapangan pelaksanaannya suntik imunisasi masih banyak diberikan pada bayi usia 2 bulan bersamaan dengan imuniasai Difteri Pertusis Tetanus (DPT), namun  Prof. Maria menekankan bahwa suntikan Imunisasi berupa Hepatitis B, Polio dan, BCG lebih efektif apabila diberikan pada saat pertama kali bayi baru dilahirkan , dengan alasan tubuh bayi belum punya daya tahan yang cukup untuk menangkal berbagai penyakit, selain antibodi bawaan yang diberikan ibu sejak dalam kandungan.
 
Dalam persiapan pengukuhan Guru Besar, Selain Prof. Maria Inge Lusida, dr., M.Kes., Ph.D., Sp.MK Guru Besar Unair ke -388 dari Fakultas Kedokteran Unair, dalam acara Pengukuhan Guru Besar Universitas Airlangga yang sedianya akan diselenggarakan esok pagi  (24/7/2010) di Gedung Rektorat Kampus C Unair, turut dilantik  Prof. Dr. Nur Basuki Minarno, SH., M.Hum Guru Besar Unair ke 387 dari Fakultas Hukum Unair  dan Prof. Dr. Eddy Bagus Wasito, dr., MS., Sp.MK Guru Besar Unair ke -389 dari Fakultas Kedokteran Unair.
 
 
-------------  End 
 
 

Berbagi Bersama Kami

banner

Partners

Media Sosial

 

Visitor Counter

mod_vvisit_countermod_vvisit_countermod_vvisit_countermod_vvisit_countermod_vvisit_countermod_vvisit_countermod_vvisit_countermod_vvisit_counter
mod_vvisit_counterHari ini217
mod_vvisit_counterKemarin401
mod_vvisit_counterMinggu Ini2227
mod_vvisit_counterBulan Ini11875