banner
banner

Partners

banner
 
 

Artikel Bebas

Penatalaksanaan Hepatitis B Kronik (Kiah Hilman, Syarif H. Djajadiredja, Edhiwan Prasetya, Meilianau) Print E-mail

Sumber : Jurnal Kedokteran Maranatha , Vol. 1, No. 2, Tahun 2002

Ditulis oleh : Kiah Hilman, Syarif H.Djajadiredja, Edhiwan Prasetya, Meilianau

Bagian Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranatha 

 

ABSTRACT / PENDAHULUAN

 

Hepatitis B masih tetap merupakan masalah kesehatan di masyarakat hingga saat ini, dimana jumlah penderita cukup banyak dan sebagian penderita akan mendapat sirosis hati bahkan kanker hati. Dari pasien-pasien yang datang pada kami ternyata penanganan yang dilakukan oleh para dokter tidaklah selalu benar karena kurang pengertian.

 

Tujuan penulisan makalah adalah supaya para dokter dapat menangani kasus-kasus pengidap hepatitis B dengan baik, agar dapat menemukan reaktivasi hepatitis B sedini mungkin dan dengan pengobatan yang tepat dapat mencegah paling tidak menghambat progresi hepatitis B tingkat yang lebih buruk.

 

Kendalanya masih banyak diantaranya biaya pemeriksaan laboratorium yang diperlukan masih mahal, terutama biaya pemeriksaan HBV- DNA.

 

 

Keberhasilan terapi dengan interferon hanya  : -\+ 40% penderita , lagi pula biaya pengobatan dengan interferon mahal sekali. Mungkin sebagian dari pengidap hepatitis B di Bandung tidak cukup mampu untuk mendapat penanganan yang cukup lengkap, tetapi para dokter dapat menyesuaikan dengan keadaan dan kemampuan penderita. 


PREVALENSI 

 

Di seluruh dunia ada lebih kurang 350 juta pengidap hepatitis B, kebanyakan di Afrika dan Asia; 40 juta diantaranya di Asia Pasifik.

 

Prevalensinya bervariasai sekali antara prevalensi ringan, sedang dan berat. Misalnya prevalensi di Amerika Serikat 0,3 %, baru akhir-akhir ini agak meningkat karena banyaknya imigran dari Asia dan makin maraknya pecandu narkoba yang menggunakan a1at suntik bersama.

 

Bandung termasuk daerah yang memiliki prevalensi sedang, yakni 4-5 Pada saat ini jumlah penduduk yang tinggal di Bandung diperkirakan 2 juta orang, berarti di Bandung dengan prevalensi di atas, terdapat kurang lebih 100.000 pengidap HBsAg, suatu jumlah yang besar.  

 

CARA PENULARAN

 

Ada dua cara penularan :

 

1. Secara horisontal dari pengidap hepatitis B ke orang lain, paling sering melalui suntikan, produk-produk darah, kontak sexual, akhir-akhir paling sering pada pecandu narkoba karena memakai alat suntik bersama dan dipakai berulang kali. Akhir-akhir ini diketahui bahwa antara keluarga yang serumah lebih mudah tertular bila ada pengidap hepatitis B, diduga penularan melalui air liur.

 

Bila seorang tertular secara horisontal dan menderita Hepatitis B Akut, 5 -10 % akan menjadi hepatitis kronik, sedangkan yang 90- 95% akan sembuh, HbsAg-nya menjadi negatif dan akan ditemukan Anti-HBs dalam darah.

 

2. Secara vertikal dari ibu pengidap hepatitis B ke bayi yang baru lahir. Penularan secara vertikal paling banyak menyebabkan hepatitis kronis, lebih kurang 80-90% akan menjadi pengidap hepatitis B. 

 

Tetapi diketahui bahwa HbsAg pada bayi yang tertular menjadi positif antara usia 6 minggu sampai 6 bulan. Hal ini memberi kesan bahwa penularan yang terjadi terutama saat terjadinya partus dan waktu ibu pengidap hepatitis B mengurus bayinya sehari-hari. Tetapi hal ini sangat tergantung pada keadaan replikasi ibu hamil tersebut. Bila ibu hamil berada dalam keadaan non replikasi (HbeAg -), hanya kurang-lebih 56% bayi yang menjadi hepatitis kronis. Sebaliknya jika dalam keadaan replikasi (HbeAg +) kurang lebih 90% bayi akan menderita hepatitis kronis. Dengan dilakukannya vaksinasi secara masal, maka tingkat kronisitas hepatitis B menurun.


Di negara-negara dengan prevalensi pengidap hepatitis B yang rendah penularan terutama secara horisontal, sedangkan di negara-negara dengan prevalensi sedang dan tinggi, penularan terutama secara vertikal.

 

GAMBARAN KLINIS

Hepatitis B akut memiliki keluhan dan gejala yang sama dengan virus hepatitis akut lainnya. Sebagian besar (90% - 95%) akan sembuh.

 

Pada penularan secara vertikal biasanya gejala yang timbul minimal/subklinis dan justru banyak yang berprogresi menjadi hepatitis B kronis beserta komplikasi-komplikasinya di kemudian hari.

 

Pada mereka yang kebetulan didapatkan HbsAg yang positif ( seperti pada mdedical check up ) dan belum didapatkan adanya keluhan, biasanya memiliki prognosa yang lebih baik. Sebagian pengidap golongan ini termasuk kedalam pengidap sehat. 

 

Pada mereka yang ditemukan adanya HbsAg yang positif dan sudah didapatkan adanya keluhan, seperti cepat capai, mual, anoreksia, dll, biasanya sudah mengidap hepatitis B kronis. Di mana hepatitis B kronis persisten prognosanya lebih baik dibandingkan dengan hepatits B kronis aktif. 

 

Mengapa pada sebagian penderita tetap pada stadium kronik persisten dan selama hidupnya tidak apa-apa sedangkan pada penderita lainnya menjadi kronik aktif dan kemudian menjadi sirosis hati bahkan kanker hati ? Ternyata hal ini tergantung dari interaksi antara replikasi virus hepatitis B yang kontinue dan status imunologi penderita (Sherlock) 

 

Bila penderita datang sudah didapatkan asites atau tanda–tanda hipertensi portal lainnya, dapat diduga bahwa os sudah menderita sirosis hati. Di Indonesia 30 % penderita sirosis hati berlanjut menjadi kanker hati (Sherlock). Hanya pada sebagian kecil penderita kanker hati tidak dapat kita temukan adanya sirosis hati.

 

Untuk mengetahui secara tepat stadium yang diderita maka dibutuhkan biopsi hati. Namun tindakan ini jarang dilakukan karena kebanyakan pasien menolak untuk di biopsi, kecuali atas indikasi yang jelas. Karena itu kita menggunakan pemeriksaan-pemeriksaan penunjang lainnya yaitu : 

  • Petanda-petanda serologik HBV
  • Pemeriksaan fungsi hati

Untuk mengetahui pasien sedang di dalam stadium yang bagaimana. Dengan demikian kita dapat melakukan pengelolaan yang mendekati kebenaran. Tanda-tanda Serologi HBV-Kronik . 

HbsAg

HBsAg sudah positif dalam masa inkubasi, biasanya 2-6 minggu sebelum timbulnya gejala-gejala. Pada Hepatitis B Akut HbsAg hilang dalam waktu beberapa minggu atau bulan, kemudian timbul Anti-HBs yang akan tetap terdeteksi seumur hidup. Pada sebagian kecil Anti-HBS kemudian bisa tidak terdeteksi. Bila HBsAg tidak hilang,dan persisten lebih dari 6 bulan dinamakan Hepatitis B kronik. Pada bayi yang lahir dari ibu pengidap Hepatitis B kronis, HBsAg timbul antara usia 6 minggu sampai 6 bulan dan umumnya bersifat persisten.

HbeAg

HBeAg terdeteksi dalam serum dalam waktu singkat setelah terdeteksi HBsAg.

HBeAg bersama dengan HBVDNA adalah tanda-tanda bahwa ada replikasi HBV yang masih aktif. Bi1a infeksi mereda HBeAg hilang dari serum dalam waktu singkat sebelum HbsAg menghilang.

HBV DNA

Seperti HBeAG, HBVDNA adalah petanda bahwa ada replikasi HBV yang masih aktif. Ditemukan dan hilang dari serum kira-kira bersamaan dengan HBeAg.

Status Hepatitis B kronik ditentukan dengan memeriksa tanda-tanda berikut ini. Antara lain dapat dibedakan antara keadaan replikasi aktif dan nonreplikasi seperti di bawah ini :

 

 

Apakah HB kronik dapat menghilang dengan sendirinya?

Pada HBV kronik umumnya; didapatkan HBsAg yang positif seumur hidup. Pada sebagian kecil HBsAg akan menghilang secara spontan dan akan timbul Anti-HBs yang positif, maka dalam keadaan demikian orang tersebut dapat dinyatakan sembuh.

Banyak pasien berpindah-pindah antara keadaan replikasi dan non replikasi. Transformasi dari keadaan replikasi keadaan non replikasi disertai hilang HbeAg dan timbulnya Anti-Hbe. Serokonversi spontan dari HBeAg ke Anti-HBe dapat terjadi pada pasien dimana jumlahnya belum jelas, ada yang! mengatakan 10-15 % per tahun (Desai & Pratt ).


Pemeriksaan Transaminase

Meningkatnya nilai transaminase (SGC SGPT) mencerminkan kerusakan hepatoseluler, namun enzim–enzim tersebut dimiliki juga oleh organ lain SGPT lebih spesifik untuk hepar dibandingkan SGOT. Karena itu kami lebih menitikberatkan pada pemeriksa-an SGPT dalam penatalaksanaan hepatitis kronis.

Transaminase bisa normal pada Hepatitis B kronik. Ada yang nilainya agak meningkat. Pada waktu terjadi eksaserbasi, reaktivasi proses replikasi ditandai peningkatan transaminase secara bermakna.

Pada umumnya kita hanya memeriksa SGPT saja. Dalam penatalaksanaan HB kronik, yang dimaksud dengan SGPT meningkat adalah :

peningkatan nilai lebih dari 2 kali batas normal, pada 3 kali pemeriksaan selang satu bulan berturut-turut dilakukan dalam waktu 3 bulan harus disingkirkan sebab-sebab dari peningkatan SGPT tersebut

 

Tujuan Penatalaksanaan HB kronik


1.    Menentukan status pasien pada waktu mnya pemeriksaan
2.    Pada status replikasi memberi terapi spesifik dengan tujuan mengubah status replikasi ke arah status non replikasi. Transaminase jadi normal dan bila mungkin :

  • HBeAg dan HBVDNA menjadi negatif. Tujuan ini biasanya dicapai dengan memberi terapi spesifik.
  • HBsAg biasanya tetap positif.

3.    Pada status non replikasi dimonitor secara berkala kadar transaminase dan diberi nasihat non spesifik.
4.    Dalam keadaan tertentu perlu dilakukan biopsi yang hasilnya lebih tepat dibandingkan pemeriksaan seromarker dan transaminase.


Nasihat secara umum

1. Memelihara status gizi yang baik dengan memberi nutrisi yang adekuat. Pada hepar status non replikasi tidak ada pantangan.

Bila sudah ada sirosis hati pada status hepatitis B kompensata tetap tidak ada pantangan makan tetapi pada status dekompensata perlu :

•    asupan garam dibatasi
•    protein sebaiknya dalam bentuk branch chain amino acids (BCAA)

2.    Kegiatan dan latihan-latihan.

Pada status non replikasi tidak ada batasan kegiatan dan olahraga yang biasa dilakukan tetap dianjurkan.

Pasien boleh bekerja biasa, dia tidak akan menularkan HBV pada teman-teman sekantor hanya karena bekerja di ruangan yang sama.


3.    Tindakan Pencegahan.

Ada profesi-profesi tertentu yang sebaiknya dilarang untuk HBV carrier yaitu profesi dengan kontak pada orang lain dan memungkinkan penularan :

•    dokter dan dokter gigi
•    perawat
•    analist

4.    HBsAg (+) pada Ujian Badan.

Bila pada check up untuk melamar pekerjaan ditemukan HBsAg (+) dengan transaminase normal, tidak ada alasan untuk menolak pekerja hanya dengan alasan HBsAg (+).

Di Bandung ada lebih kurang 100.000 HBsAg carrier, bila mereka di tolak bekerja akan menambah pengangguran.


5. Vaksinasi Hepatitis B.

Semua orang yang akan bekerja di lingkungan yang memungkinkan kontak dengan darah yaitu, dr, drg, paramedis, pegawai RS dan orang kontak yang serumah dengan carrier. Sebetulnya semua penduduk daerah prevalensi sedang dan berat yang HBsAg (-) dan anti HBs (-) sebaiknya divaksinasi. Imunisasi Hepatitis B pada bayi sudah diketahui secara umum.

 

Terapi spesifik

Banyak obat anti-virus yang telah dicoba untuk mengobati Hepatitis B tapi belum ada yang memuaskan. Pada waktu ini yang dianggap paling baik hasilnya adalah interferon dan lamivudin.

  • Interferon diberikan secara intensif, 3 kaIi seminggu. Minimal 4-6 bulan lamanya. Hasilnya masih kurang memuaskan, hanya 40-50 % berhasil. Efek sampingnya mengganggu dan harganya sangat mahal. Ada jenis interferon kerja panjang yaitu Peggylated Interferon yang diberikan cukup lx seminggu (obat ini diperkirakan masuk ke Indonesia tahun 2002).
  • Lamivudin diberikan per oral, efek sampingnya sedikit. Diberikan bersama dengan interferon atau tersendiri.

Kedua preparat di atas tidak ada manfaatnya bila diberikan dalam waktu yang singkat.

Penatalaksanaan Hepatitits B kronis

a. HBeAg (-) dan anti-HBe (+) HBVDNA( -) dan tidak ada tanda-tanda sirosis hati. Pengidap yang termasuk golongan ini jumlahnya paIing besar, dahulu dinamakan pengidap sehat (healthy carrier). Istilah "healthy carrier" ini sekarang jarang dipakai, sebab dapat memberi kesan bahwa penderita dalam keadaan sehat.

Sebagian besar golongan ini tidak akan berlanjut ke stadium yang lebih jelek. Ternyata pada sebagian tetap dapat terjadi sirosis dan kanker. Karena itu golongan ini tetap harus diawasi supaya bila terjadi reaktivasi repIikasi virus dapat terdeteksi secara dini (lihat d2). Cara pengawasannya dengan memeriksa kadar SGPT tiap 6 bulan. Bila ditemukan peningkatan disusul dengan pemeriksaan HBeAg dan HBVDNA. Tindakan berikutnya disesuaikan dengan hasil peme-riksaan seromarker tersebut.

 


 

b. HBeAg (+), HBVDNA (+), SGPT normal. Pada golongan ini sebaiknya dilakukan biopsi hati walaupun SGPT normal; bila ada tanda–tanda hepatitis kronik aktif tetap perlu terapi spesifik. Bila tidak ada tanda-tanda hepatitis kronik aktif perlu pengawasan intensif kadar transamiriase tiap 3 bulan, bila meningkat tindakan seperti pada c.

c. HBeAg (+), HBVDNA (+) dan SGPT yang meningkat menandakan bahwa adanya hepatitis kronik aktif. Golongan ini perlu pengobatan spesifik dengan interferon minimal 6 bulan dengan frekuensi 3x seminggu ditambah lamivudin minimall tahun.

d.1. HBeAg(-), Anti-HBe(+), HBVDNA(-) tetapi sudah ada tanda- tanda sirosis. Sirosis hati adalah kontraindikasi untuk pemberian interferon, tetapi bisa dicoba pemberian lamivudine. Diharapkan lamivudine dapat menghambat progresivitas dari sirosis hati tersebut. Golongan ini prognosanya kurang baik, karena itu harus dilakukan pengawasan terhadap terjadinya HCC dengan cara pemeriksaan USG, AFP tiap 3 bulan.

d.2. Precore-mutant HBeAg(-) dan anti-HBe (+) Seperti dapat dilihat pada (a) maka sebagian besar golongan ini dahulu dinamakan “Healthy carrier” , namun pada sebagian kecil dapat terjadi infeksi oleh precore mutan dari HBV, mengakibatkan terjadinya hepatitis kronik yang berat yang dapat berprogresi cepat ke sirosis, dimana didapatkan HBeAg yang tetap (-) namun HBV DNA menjadi (+) kembali. Sayangnya proses ini secara klinis tidak disertai tanda-tanda yang jelas. Oleh karena itu pada pasien pengidap sehat bila SGPT meningkat lagi perlu dilakukan pemeriksaan HBVDNA lagi.


Kesimpulan

Hepatitis B kronis masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Di Bandung diperkirakan terdapat kurang lebih 100.000 pengidap hepatitis B kronis. Pada mereka perlu dilakukan tindakan-tindakan yang mencegah progresi ke arah sirosis hati, bahkan kanker hati. Untuk itu diperlukan penatalaksanaan yang baik dan terapi yang adekuat bagi mereka yang memerlukannya.

Banyak kendala yang akan dihadapi diantaranya banyak penderita yang berpenghasilan rendah, harga pemeriksaan seromarker mahal dan harga obat- obatan lebih mahal lagi. Respon terhadap terapi pun belum memuaskan.

Dengan pengetahuan yang baik, maka tindakan -tindakan di atas dapat kita sesuaikan dengan keadaan dan kemampuan penderita.

Harapan kita adalah agar di kemudian hari harga pemeriksaan dapat lebih murah dan ditemukan obat–obat yang lebih canggih dan terjangkau oleh masyarakat banyak.


Daftar Pustaka

  1. Guan R, Stephen Pi Treatment of Chronic Viral Hepatitis i Management of Commort Gastroenterological Problems, Second Ed (1997) : 149-163.
  2. Hoofnagle JH, Aller HI, Chronic Viral Hepatitis : Vyas GN et all eds. Viral Hepatitis and Liver Disease. Grunne- Stratton Inc, 1984, 97 -113
  3. Wands IR, Isselbacher KI, Chronic Hepatitis, Harrison's Principles of Internal  Medicine, Ed 12, Mc Graw -Hill New York, 1991, 253 i 1337 -1339
  4. Sulaiman dan Iulitasari. Patogenesa dan penatalaksanaan Hepatitis B Akut dan kronik, MKI, Vol44 No 5,mei 1994, 308 -314
  5. Stace NH, Management Hepatitis Bi Disease Versus Cost. Read in Symposium of Chronic Hepatitis B management in the New Millenium, Hongkong, 2000
  6. Desai SP and Pratt SI, Clinician's Guide to laboratory Medicine, Lexi -Comp. Inc, Hudson 2000 :556
  7. Sherlock Sand Dooley I, Disease of Liver and Billiary System, Ed 10, Blackwell Science, 1997. 


 ----- End   

 

 

Berbagi Bersama Kami

banner

Partners

Media Sosial

 

Visitor Counter

mod_vvisit_countermod_vvisit_countermod_vvisit_countermod_vvisit_countermod_vvisit_countermod_vvisit_countermod_vvisit_countermod_vvisit_counter
mod_vvisit_counterHari ini281
mod_vvisit_counterKemarin392
mod_vvisit_counterMinggu Ini1884
mod_vvisit_counterBulan Ini9653