banner
banner

Partners

banner
 
 

Artikel Bebas

Hari Hepatitis Sedunia Upaya Eradikasi Hepatitis Virus B dan C (Prof. H. Ali Sulaiman) Print E-mail

Sumber : Suara Pembaruan Online. 29 Juli 2010

Ditulis oleh : Prof.Dr.H Ali Sulaiman Sp.PD, KGEH ( Divisi Hepatologi Dep.  Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia )

"Program imunisasi massal telah dicanangkan sejak keberhasilan proyek  percontohan di Lombok pada 1987 sampai 1991. Kemudian, secara bertahap program  imunisasi massal dilaksanakan di setiap provinsi. Sampai 1997, program vaksinasi hepatitis B yang digabungkan dengan program  vaksinasi EPI menjadi program nasional.

Delegasi Indonesia yang dipimpin Menteri Kesehatan (Menkes), Endang Rahayu Sedyaningsih bersama Brasil berhasil menjadi sponsor utama untuk mengegolkan resolusi mengenai hepatitis virus pada pertemuan kesehatan sedunia (World Health Assembly/WHA) ke-63 di Genewa pada 20 Mei 2010. Apa isi resolusi tersebut? Pertama, hepatitis virus tetap menjadi problem kesehatan yang sangat besar bagi negara-negara berkembang telah diangkat menjadi program prioritas di Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO). Kedua, WHA menetapkan 28 Juli yang merupakan hari lahir Dr Baruch Blumberg, penemu hepatitis B, sebagai Hari Hepatitis Sedunia (World Hepatitis Day/WHD).

Dalam resolusi mengenai hepatitis virus, salah satu rekomendasi yang disampaikan Menkes adalah WHO dapat menyediakan bantuan untuk negara-negara berkembang berupa dukungan teknis bagi pengembangan strategi nasional yang memadai, termasuk tujuan utama yang jelas serta kerangka dan jadwal waktu dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit hepatitis virus. WHO juga diminta memberikan bantuan teknis untuk memastikan bahwa negara-negara berkembang dapat melaksanakan program surveillance yang efektif, pengembangan vaksin, dan pengobatan yang efektif. 

Memperhatikan pentingnya isu ini dan telah diterimanya resolusi hepatitis virus oleh WHO, diharapkan hal ini akan menjadi landasan yang kokoh bagi terwujudnya kerja sama internasional yang erat di antara negara-negara di dunia dalam upaya memerangi hepatitis virus.

Prevalensi Tinggi.

Masuknya hepatitis virus dalam agenda prioritas WHO merupakan suatu peristiwa yang besar, terutama bagi negara-negara sedang berkembang, dimana prevalensi hepatitis virus sangat tinggi, terutama prevalensi hepatitis B, disusul hepatitis C. 

Mengapa peristiwa ini sangat penting bagi Indonesia? Hepatitis virus, terutama hepatitis B dan C, masih merupakan problem kesehatan masyarakat yang sangat besar di Indonesia dan di negara Asia dan Afrika lainnya. Sebanyak tiga perempat pengidap hepatitis B dan di seluruh dunia berada di kawasan ini. Hepatitis B dan C masih merupakan penyebab tingginya mortalitas dan morbiditas.  

Sekitar 2 miliar orang telah terkena hepatitis B dan ada sedikitnya 400 juta pengidap virus ini, serta sedikitnya 1 juta orang telah meninggal. Sedangkan, penderita hepatitis C mencapai 170 juta orang. Bagaimana di Indonesia? Tidak kurang dari 13 juta penderita hepatitis B dan 4 juta penderita hepatitis C. Jumlah pengidap hepatitis B di Indonesia berada di urutan ketiga setelah Tiongkok dan India.  

Dalam perjalanan penyakitnya, sekitar 40% pengidap akan mengalami sirosis hati dalam rentang waktu 15 tahun atau lebih. Sebagian lagi menjadi kanker hati dan berakhir dengan kematian apabila tidak mendapat pengobatan untuk membunuh virusnya. Apabila sudah mencapai tahap sirosis dan kemudian kanker hati, tidak ada upaya lagi untuk mengatasinya, kecuali dilakukan operasi transplantasi hati. Sampai sekarang prosedur transplantasi hati belum dapat dilaksanakan di Indonesia. 

Fenomena Gunung Es  

Keberadaan hepatitis B dan C dapat digambarkan seperti fenomena gunung es. Bagian yang muncul di permukaan hanya 30% dari penderita yang simtomatis (mempunyai keluhan dan gejala, Red). Bagian terbesar, yakni 70% tidak muncul ke permukaan dan tidak terdiagnosis.  

Kelompok yang sangat besar ini luput dari pelayanan kesehatan dan pengamatan dokter atau tenaga kesehatan lainnya, karena mereka tidak mempunyai keluhan atau gejala, sehingga tidak pernah memeriksakan kesehatannya. Yang sering terjadi, mereka mengetahui dirinya sakit setelah penyakitnya menjadi berat dan kadang-kadang sudah sampai tahap lanjut. Hal serupa juga terjadi pada kasus hepatitis C Jumlah kasus yang disertai keluhan dan gejala hanya 20% saja. Bagian terbesar sebanyak 80%, juga tidak mengeluh dan tidak bergejala, sehingga mereka tidak pernah memeriksakan diri ke dokter.  

Oleh karena itu, terhadap kelompok yang disebut terakhir perlu diupayakan mendapat akses terhadap screening darah untuk hepatitis B dan hepatitis C. Dengan suatu pemeriksaan yang sederhana (screening), penyakit hati menahun, sirosis hati, dan kanker hati, bisa dicegah.  

Salah satu cara penularan virus melalui ibu kepada bayinya saat persalinan. Sekitar 40% cara penularan seperti ini terjadi di Indonesia, sehingga untuk mencegahnya bayi harus segera disuntik dengan vaksin hepatitis B dalam waktu 2x24 jam setelah lahir. Program imunisasi massal telah dicanangkan sejak keberhasilan proyek percontohan di Lombok pada 1987 sampai 1991.  

Kemudian, secara bertahap program imunisasi massal dilaksanakan di setiap provinsi. Sampai 1997, program vaksinasi hepatitis B yang digabungkan dengan program vaksinasi EPI menjadi program nasional. Semua bayi baru lahir sampai usia satu tahun diharuskan mendapat vaksinasi hepatitis B dan digabungkan dengan program vaksinasi lain.

Langkah awal yang besar dan patut diacungi jempol ini belum memberi dampak besar dalam upaya pengendalian hepatitis B. Banyak faktor yang perlu diatasi, dimana sangat mungkin faktor-faktor itu menjadi kendala tercapainya keberhasilan sasaran vaksinasi. Misalnya, cakupan vaksinasi yang belum merata mencapai keberhasilan yang tinggi sesuai target yang diharapkan, yakni sedikitnya 80%. Hal ini mengakibatkan masih adanya kantong-kantong sumber infeksi penularan yang laten dan berbahaya. Dengan kondisi itu, walaupun telah ada program vaksinasi, prevalensi hepatitis B bergeming pada angka yang kira-kira hampir sama dengan hasil survei mapping prevalensi HBsAg pada 1981 dan survei 13 tahun kemudian.  

Untuk itu, perlu dipikirkan dan menjadi pertimbangan lebih lanjut agar upaya sasaran imunisasi hepatitis B lebih diperluas, yakni yang divaksinasi secara massal tidak hanya bayi baru lahir dan sampai umur 1 tahun, namun kelompok umur 2-5 tahun (balita), usia sekolah, dewasa muda, dan dewasa. Dengan cara ini, kemungkinan adanya kantong-kantong sumber infeksi menjadi sangat kecil. Imunisasi massal yang diperluas ini tentu saja membutuhkan lebih banyak vaksin dan biaya lebih besar.  

Indonesia dapat menyiapkan atau kalau mungkin memproduksi vaksin sendiri yang murah, dimana vaksin itu akan bisa didapatkan setiap penduduk yang memerlukannya. Indonesia seyogianya harus bisa menguasai seluruh tahapan teknologi proses pembuatan vaksin hepatitis B. Ironis memang, ada negara yang sangat membutuhkan vaksin hepatitis B, tetapi tak memproduksinya sendiri. Sebaliknya, negara yang bisa membuat vaksin hepatitis B, justru tidak terlalu memerlukannya. Mudah-mudahan ada negara yang bisa dan mau membantu Indonesia untuk bisa memulai pembuatan vaksin sendiri, sehingga misi eradikasi hepatitis B akan menjadi kenyataan di masa depan.  

----- End  

 

 

Berbagi Bersama Kami

banner

Partners

Media Sosial

 

Visitor Counter

mod_vvisit_countermod_vvisit_countermod_vvisit_countermod_vvisit_countermod_vvisit_countermod_vvisit_countermod_vvisit_countermod_vvisit_counter
mod_vvisit_counterHari ini117
mod_vvisit_counterKemarin333
mod_vvisit_counterMinggu Ini450
mod_vvisit_counterBulan Ini6728